Aku tahu Rico akan segera menikah dengan kekasihnya yang telah di pacari nya sejak jaman SMP. Aku tahu itu semua dari salah seorang sahabat ku yang juga berteman dekat dengan Rico. Calon istri Rico (bisa di bilang begitu) Namanya Anita, perempuan itu adalah adik kelas kami pada waktu masih bersekolah dulu. Dia tumbuh menjadi seorang pengusaha butik yang sudah cukup terkenal dan mempunyai brand sendiri. Cukup sukses menurutku karena mengingat usianya yang baru menginjak 24 tahun.
Rico menghubungiku dan mengajakku untuk bertemu. Ini bukan kali pertamanya Rico mengajakku bertemu, menjelang hari pertunangannya dengan Anita, kami semakin intens bertemu.
Dia mengajakku untuk sekedar makan siang, meningkmati secangkir teh di sore hari, makan malam bersama, menonton film di bioskop, berbelanja keperluannya, hingga menonton dvd bersama di rumahnya.
Saat aku bersama dia, dia tak pernah sekalipun membahas padaku tentang pernikannya yang akan segera di laksanakan.
"Mi, gimana? Kamu bisa gak? kok diem aja sih" Tanya Rico kepadaku
"Ha? Sorry sorry" Suaranya membuyarkan ku.
"Aku siang ini kayaknya gak bisa deh, malem aja ya"
"Oke nanti malem kamu ke rumah ya, aku masak spesial buat kamu"
"Oke, bye!"
Yup tentu saja selain dia pandai dalam ilmu kesehatan, dia juga pandai memasak. Dia jauh lebih pandai memasak di banding aku. Pria berdarah minang ini sering memasakkan makan siang untuk ku dan mengantarkannya ke rumah ataupun ke kempusku.
Kedekatan secara intens sudah berlangsung 5 bulan. Aku tahu dia bahkan lebih sering bertemu denganku daripada bertemu dengan Anita.
Jariku menekan bel rumah Rico. Tak berapalama kemudian Rico membuka pintu rumahnya.
"Hai" Sapaku
"Hai, kok kamu gak kabarin kalau udah deket sini, jadi aku langsung siapin di meja dulu" ucap nya sambil mendekapku dan mencium pipiku, sama seperti yang biasa di lakukannya padaku.
Kami lalu masuk ke dalam rumah Rico. Rumah yang Rico tempati adalah rumah pribadi nya, dia tinggal sendiri di sini, terkadang Rico memintaku untuk menginap di rumahnya, namun aku menolak dengan mengeluarkan bermacam alasan yang terkadang kurang masuk akal.
Rico terlihat sedang sibuk di dapur untuk mempersiapkan makan malam kami. Aku menghampirinya dan membanyunya menyiapkan makan malam.
"Masak apa kamu?" tanyaku.
"Ini aku bikin Mashroom fettuccine kesukan kamu" Jawabnya sambil melihat ke arahku.
"Wah pasti enak!" Aku mengangkat kedua piring kami ke arah meja makan. Sedangkan Rico menyiapkan minuman untuk kami.
"Gimana enak ga?" tanya Rico membuka percakapan makan malam saat itu.
"Ya enak lah kalo buatan kamu mah"
"Hm, oiya. Anita gak kesini?" Tanyaku, Rico terlihat sedikit tersedak dengan masakannya sendiri.
"Dia lagi-"
"ada urusan butik." Jawabnya.
"Anita gak-"
"bisa gak sih, gausah bahas Anita dulu." Belum sempat aku menyelesaikan pertanyaanku, dia langsung memotongnya.
Makan malam itu berlangsung cukup dingin, berbeda dengan malam-malam sebelumnya. Tapi kurasa aku harus mengambil sikap yang tegas pada sesuatu yang terjadi antara aku dan Rico.
"Rico, aku mau ngomong sesuatu" ujarku
"Aku juga. Oke kamu duluan."
"Apa benar kamu akan segera menikah dengan Anita?" Tanyaku. Rico terlihat menundukan pandangannya dan terdiam sesaat
"Kok kamu gak cerita sama aku?" Tanyaku
"Orangtua Anita dan orangtua ku memang sudah memintaku untuk segera menikahinya."
"Terus kenapa kamu gak jujur sama aku?"
"Aku belum yakin untuk menikah dengannya"
Kami terdiam
"Karena aku sayang sama kamu" Dia melanjutkan kata-katanya
"Saat kita bertemu 5 bulan lalu, kamu yang menghiasi hari-hariku dan aku langsung ragu untuk menikahi Anita. Karena aku merasa, aku sayang sama kamu"
"Kamu yang perhatian sama aku, kamu yang selalu membuat aku bahagia dengan hal-hal kecil yang kamu lakukan buat aku"
"aku gak perlu dinner di hotel bintang 5, barang-barang mahal, liburan high class kaya yang Anita selalu kasih ke aku. Aku cuma mau kamu, kamu yang ada buat aku, apa adanya kamu." Rico menatapku dan menggengam tanganku. Ini adalah pembicaraan pertama kami yang paling serius.
Aku tidak bisa membohongi perasaanku, aku juga sayang pada Rico. Dia adalah cinta pertamaku pada saat jaman sekolah dulu. Aku masih ingat kalimat pertama yang dia ucapkan padaku waktu dulu.
"Rumah kamu kan deket rumah aku!" Itu adalah kalimat pertama yang di ucapkannya padaku dulu. Aku masih ingat dengan jelas bagaimana wajah pria kecil cinta pertamaku dulu. Sekarang dia ada di hadapanku, mengatakan bahwa dia sayang padaku.
"Aku- Aku juga sayang sama kamu Rico" jawabku. Dia langsung mendekap tubuhku hingga di pelukannya. Untuk beberapa menit berlalu aku merasa nyaman sekali dalam pelukan 'calon suami orang' ini.
Malam ini aku memutuskan untuk menginap di rumah Rico karena hari sudah cukup larut apabila dia mengantarku pulang, mengingat butuh beberapa jam untuk mengantarku pulang dan aku melihat kelelahan di wajah kekasihku.
Kami menghabiskan malam dengan menonton dvd sebelum tidur, kulihat tak sekalipun Rico menyentuh atau sedekar melihat handphone nya, dia sama sekali tidak berkomunikasi dengan Anita. Padahal malam-malam sebelumnya, kami selalu bertukar cerita lewat telepon sebelum tidur hingga terlelap dengan telepon yang masih dalam genggaman.
Hari demi hari berlalu, sejak kejadian malam itu, kami merasa semakin dekat. Tak jarang aku menginap di rumah Rico. Rico pun sudah bertemu dengan kedua orangtua ku
Siang itu Rico mrngantarkan makan siang untuk ku di kampus. Kami duduk di sebuah gazebo di halaman kampus untuk menyantap bekal yang di buatkan oleh Rico.
"Kamu gak ada jadwal praktek siang ini tumben sempet-sempetin makan bareng aku"
"Sebenernya ada sih" Jawab Rico sambil menghentikan kunyahan nya.
"Terus gimana?" Tanyaku terheran
"Aku cancel"
"Loh kok gitu?"
"Aku pengen aja seharian ini sama kamu.
"Ya kamu harus profesional dong, kan bisa malemnya sama aku"
"I just need someone talk to, or mybe just stay with me"
aku mengangguk mendengar pernyataan aneh dari Rico saat itu, akupun melanjutkan makan ku.
Sepanjang perjalanan menuju rumah Rico, dia tidak banyak bicara, atau bahkan tidak sekalipun mengeluarkan kata-kata dari mulutnya. Aku memancingnya bicara dengan beberapa pertanyaan namun terlihat dia sedang tidak fokus menjawab pertanyaanku.
"Kamu gak papa?" tanyaku setiba di rumah Rico. Dia terlihat bingung, matanya terlihat sedang berpikir dan arah pandangnya terlihat seperti mencari-cari sesuatu.
"iya gak papa, aku cuma pengen mandi aja" Jawabnya. Tidak seperti biasanya Rico ingin mandi di siang hari. Rico bergegas masuk ke dalam kamar mandi.
Aku menunggunya di sofa yang ada di ruang keluarga. Di sisi lain ruangan aku mendengar dering suara dari handphone miliknya.
"Dia telfon tuh!" ujarku saat Rico keluar dari kamar mandi.
"Telfon balik gih, ntar penting lagi" Rico masih terus terdiam
"kamu kenapa sih?"
"kalo kamu masih diem tandanya ini tentang dia."
"kita mongin abis ini" Rico masuk ke kamarnya untuk berpakaian.
Rico melangkahkan kakinya perlahan menuju ke arahku, aku tahu ini bukan awal pembicaraan yang baik. Dia terdiam di sampingku, aku tahu dia sedang mencari cara memulai percakapan denganku. Ku biarkan dirinya memulai pembicaraan tanpa harus ku tanya lagi apa yang terjadi.
"Keluarga Anita sama keluarga aku udah mulai mempersiapkan pernikahan aku sama dia" Ujarnya dengan satu tarikan nafas.
"Wow, bagus-dong! Ujarku dengan ada sedikit penekanan di kata 'bagus' aku sudah mengetahui bahwa ini akan tentang Anita.
"Terus gimana?" Dia terdiam dan belum menjawab pertanyaanku beberapa saat
"Kamu mau apa? kamu mau aku pergi dari kehidupan kamu dan membiarkan kamu nikah sama dia?" Tanyaku sengan nada sedikit tinggi agar dia mulai berbicara
"Nggak! Aku gak mau hal itu, aku mau sama kamu. Aku mau nikah sama kamu, bukan sama dia!"
"kenapa kamu bisa begitu yakin? kita baru ketemu kurang dari setahun!" Kataku.
"Karna-Karna aku bisa ngerasain cinta kamu tulus ke aku apa adanya buat aku, kamu bisa jadi diri kamu sendiri buat mencitai aku" Ujarnya. Entah kalimat itu terasa biasa saja di pendengaran ku.
"Konteks 'apa adanya' buat kamu tuh kaya gimana sih?" tanyaku. Dia terdiam mendengar pertanyaanku, aku tahu ini bukan karena dia tidak bisa menjelaskan nya atau bahkan tidak tahu jawaban dari pertanyaanku. Dia haya sedang menahan beban pikiran yang ada di kepalanya yang sedang meluap-luap seperti air mendidih.
Jujur saja aku juga kasian melihatnya yang sedang frustasi saat itu. Aku tak bisa membohongi perasaanku kalau aku mencintainya, dan tidak mugkin secepat itu rela melihatnya bersanding dengan orang lain.
"Aku kasi kamu waktu seminggu buat mikirin tentang ini, terutama tentang kelajutan hubungan kita bakal di gimanain."
"Aku mikir, kamu juga mikir. Seminggu lagi kita kasi keputusan."
"Selama semiggu kita gak usah ketemu, telfon, ato chatingan sama skali dulu" Rico masih terdiam tanpa menanggapi pernyataanku, aku tahu dia telah mulai memikirkan sebelum aku mengatakan hal tadi.
"ohiya satu lagi. Aku harap keputusan yang kamu buat itu dari hati kamu. Bukan karena aku, dia, atau orang lain"
Ku tinggalkan rumah Rico saat itu juga. Tak sedikitpun ku lihat Rico mengejarku atau sekedar mengucapkan kalimat saat aku pergi. Itu terlihat lebih baik untukku karena aku tidak menginginkan lebih banyak drama.
Hari demi hari berlalu, dia benar-benar tidak menghubungiku dan mencoba bertemu denganku. Itu bukan masalah bagitu karena aku yang membuat perjanjian itu. Setiap hari ku mulai hariku tanpa dirinya. Agak berat rasanya atau mungkin ada yang berbeda dengan hari-hari sebelumnya.
Hampir setiap saat aku menyempatkan waktu untuk mengecek handphone ku untuk mengetahui apakah ada kabar dari dirinya atau tidak.
Dua minggu telah berlalu sejak terakhir kali aku bertemu dengannya. Jujur saja itu agak menyakitkan hatiku, karena Rico (mungkin) pergi bersama Anita tanpa mengucapkan sepatah katapun padaku. Mungkin dia tidak mendengarkanku saat kuucapkan perjanjian itu, atau dia melupakan nya, atau dia sedang sibuk mempersiapkan pernikahannya.
Pagi itu aku memulai hariku dengan biasanya, aku hendak berangkat ke kampus. Ku langkahkan kakiku menuju pintu teras rumah. Barusaja ku buka pintu, aku melihat Rico duduk kursi teras rumahku. Hal itu cukup mengagetkanku. Dia melihatku dan segera bangun dari duduknya. Kututup pintu terasku untuk memastikan Ibuku tidak mendengar percakapan kami.
"Udah dua minggu!" Ujarku kesal
"Aku tahu, banyak hal yang harus aku rundingin" Ujarnya.
"Aku udah batalin pernikahan aku sama Anita, Aku udah omongin ke keluarga aku dan ke keluarga dia kalau aku gak bisa menikahi dia." Aku terkaget mendengar penyataannya.
"Apa yang membuat kamu gak bisa menikahi dia" tanyaku
"Aku gak yakin sama dia"
"dan aku cinta sama kamu" ujarnya melanjutkan kata-katanya. Aku terdiam tak habis pikir apa yang terjadi padaku pagi itu.
"Kenapa kamu bisa bilang seperti itu. Bisa jadi kemaren kamu pacaran sama dia tapi kamu gak cinta sama dia" Kataku
"Aku gak tahu pasti soal itu. Kamu tahu kan, bangun di pagi hari untuk memulai aktivitas itu adalah sebuah kesmpatan kita untuk hidup kembali"
"saat aku bangun dari tidur aku, aku inget kamu, bukan dia. Dan dari segala hal yang kita lakuin, aku pada akhirnya yakin kalau kamu yang terbaik buat aku" Aku terdiam mendengar pernyataan Rico.
"Aku gak mau buang waktu lama-lama lagi, Kamu mau kan menikah sama aku?" Tanya Rico sambil menggengam kedua taganku. Aku menatap matanya sedam mungkin. Tak sedikitpun dia berusaha memalingkan pandangannya ke arah lain.
"Rico..."
"Aku mau nikah sama kamu."
"Tapi.." Perlahan kulepaskan genggaman tanga Rico
"Aku rasa kita memulai hubungan kita dengan cara yang salah. Kamu jadiin aku orang ketiga di hubungan kamu sama dia. Menurut aku itu gak bakalan baik kedepannya, aku percaya karma itu ada. Kamu tahu, saat kamu bilang kamu sayang sama aku karna aku menjadi diri aku sendiri yang apa adanya aku, kamu gak sadar kalau selama ini Anita juga menjadi dirinya sendiri dengan cara high class dan perfectionisnya itu."
"Pada saat kamu berpikir untuk menikah dengan seseorag dengan cara pandang 'saya akan menghabiskan seluruh hidup yang saya punya dengan orang itu' kamu sampe kapanpun gak akan yakin walaupun kamu sayang sama orang itu. Kamu mungkin bisa bilang yakin, tapi pasti ada keraguan yang bakal menghantui kamu"
"Dan yang paling penting, kamu itu sebenernya cinta nya sama dia, bukan aku. Aku gak bilang kamu bosen atau jenuh sama dia, tapi cinta kamu udah terbiasa sama dia. Terbiasa ngelakuin semua hal, sampe kamu ngerasa itu hal yang biasa aja, padahal itu luar biasa. Semakin cinta itu membiasakan diri, cinta tersebut adalah cinta sesungguhnya. Cinta itu semakin tulus semakin gak keliatan. Aku orang baru di kehidupan kamu, pada dasarnya setiap hal yang baru bakal jauh lebih menarik meskipun nyatanya gak lebih bagus dari yang lama."
"Kamu orang baik, aku harap kamu mendapatkan yang lebih baik dari aku"
---
Tiga tahun berlalu sejak tragedi di teras rumahku itu. Kami memutuskan hubungan kami tak lama setelah tragedi tersebut. Aku tak pernah bertemu padanya, dan bahkan aku tak pernah bertanya pada temanku tentang kabar terbaru Rico.
Malam itu Rico berjalan menuju kearah ku bersama seorang wanita, bukan Anita. Wanita asing itu menjabat tanganku sambil tersenyum. Di belakangnya aku melihat Rico Dia menjabat tanganku di dekatkan tubuhnya ke samping tubuhku dan berbisik.
"Aku beruntung kenal kamu. Congratulation for your wedding" Ucapnya sambil tersenyum dan melepaskan jabat tangannya, kemudian menjabat tangan suamiku. Kulihat wajahnya seperti pertama kali kita bertemu di seminar kesehatan beberapa tahun lalu, bahkan mungkin jauh lebih baik daripada itu. Tidak ada beban sedikitpun yang terlihat dari wajah Rico. Aku rasa dia telah menemukan jalan yang tepat untuk hidupnya. Dia jalan menjauh dari kami dan turun dari pelaminan dan menjauh dari pandanganku. Itulah saat terakhir aku bertemu dengannya.
--THE END--
Cerita ini di tulis sebulan yang lalu (Kira-kira) kemudian nganggur di darf, dan baru selesai malam ini. Hahaahha.